#top-social-profiles{height:42px;text-align:right}#top-social-profiles img{margin:0 6px 0 0px !important} #top-social-profiles img:hover{opacity:0.8} #top-social-profiles .widget-container{background:none;padding:0;border:0} .social-profiles-widget img{margin:0 6px 0 0} .social-profiles-widget img:hover{opacity:0.8}

Total Tayangan Halaman

Kamis, 09 Maret 2017

Sifat-Sifat Inti

Sifat-sifat inti terbagi menjadi 2 antara lain :

A.  Sifat-sifat inti yang tidak bergantung pada waktu :
·   Muatan inti (electric charge)
·   Massa inti (mass)
·   Jari-jari (radius)
·   Momentum sudut (angular momentum)
·   Momen magnetik (electromagnet  momentum)
·   Momen listrik
B.  Sifat-sifat yang bergantung pada waktu:
·   Peluruhan radioaktif
·   Reaksi inti

A. Sifat-sifat inti yang tidak bergantung pada waktu :
     1.     Muatan Inti
Salah satu hipotesis dalton (1803) ialah bahwa atom-atom suatu unsur adalah identik. Prout (1819) menyarankan bahwa semua unsur terbuat dari hidrogen, sehingga massanya dapat dituliskan sebagai:
M ~ CMH
MH = massa hidrogen
C = bilangan bulat

Dari penyelidikan yang teliti, ternyata C bukanlah bilangan bulat, sehingga hipotesis Prout dianggap tidak benar. Crookes (1886) menyarankan kembali ide Prout. Alasan bahwa C bukan bilangan bulat adalah karena suatu unsur mungkin terdiri dari beberapa campuran (isotop).
Contoh:
Cl mempunyai berat atom 35,46 karena terdiri dari 3 isotop, masing-masing 34,35, dan 36.
Karena kemudian inti diketahui terdiri dari proton dan neutron, maka dapat dituliskan:
M = Z(MH) + N(MN)

𝑀=𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑖𝑛𝑡𝑖
𝑍=𝑛𝑜𝑚𝑜𝑟 𝑎𝑡𝑜𝑚
𝑀𝐻=massa hidrogen
𝑁=𝑛𝑒𝑢𝑡𝑟𝑜𝑛
𝑀𝑁=𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑛𝑒𝑢𝑡𝑟𝑜𝑛
     
Massa atomik mengacu pada massa atom netral. Bukan pada inti, jadi massa elektron orbital dan masaa ekivalen energi ikatnya termasuk dalam besaran massa atom. Hubungan massa inti atom dan massa atom adalah

M(atom) = M (inti atom) + M (elektron) + energi ikat elektron total

     2.     Jari-Jari
Jari-jari inti belum bisa ditentukan/diukur secara langsung Ada dua metode, yaitu cara Nuklir dan Cara Elektromagnetik. Jika diasumsikan inti bulat (bola), maka jejarinya ditentukan degan persamaan: 
R= ro. A1/3
Ø  Ada dua cara untuk menentukan r0:
  a. Cara nuklir
Dengan cara ini diukur jari-jari gaya inti (nuclear force radius) yang didefinisikan sebagai jarak dari pusat inti ke jarak jangkauan gaya inti. Jangkauan gaya inti lebih panjang sedikit dari ukuran inti. Cara-cara yang masuk dalam kategori ini:
·           Hamburan partikel alfa dengan hasil r= 1,414 F =1,414 x 10-13 cm
·           Peluruhan alfa dengan hasil ro = 1,48 F = 1,48 x 10-13 cm
·           Hamburan neutron cepat dengan hasil ro = 1,37 F = 1,37 x 10-13 cm
  b. Cara elektromagnetik
Jari-jari yang diukur ialah jari-jari muatan inti. Percobaan yang termasuk kategori ini:
· Hamburan elektron dengan hasil 𝑟0=1,26 𝐹
· Mesonik atom dengan hasil 𝑟0=1,2 𝐹
· Inti cermin (1H3 3He3) dengan hasil 𝑟0=(1,28 ±0,05) 𝐹
· Hamburan proton dengan hasil 𝑟0 = (1,25 ±0,05) 𝐹
· Pergeseran isotropik dengan hasil 𝑟0=1,20 𝐹

      3.    Muatan Inti
Model atom Rutherford dapat menjelaskan spektra sinar-X unsur-unsur yang diukur oleh Moseley (1913). Dari data Moseley diketahui bahwa muatan inti adalah Z.e, dengan Z = nomor atom, dan e = + 1,602 x 10-19 C
Contoh:
Menentukan muatan inti atom 
                                                                                Z=2
Jadi muatan inti = Ze
= 2 × 1,6 x10−19 𝐶
= 3,2 ×10−19 𝐶

     4.    Momentum Sudut
Momentum sudut inti dapat diketahui dari struktur halus (hyperfine structure), dapat diamati menggunakan dengan spektrometer dengan resolusi tinggi. Nukleon mempunyai spin ½. Karena nukleon bergerak, maka proton dan neutron juga mempunyai momentum sudut orbital. Momentum sudut total (spin inti) I, merupakan jumlah vektor momentum sudut orbital, L dan momentum sudut spin, tiap nukleon.   
Momentum sudut suatu unti atom dapat ditunjukkan dari hyperfine-structure splitting garis-garis spektrum suatu atom. Pauli menerangkan hyperfine-structure splitting ini dengan anggapan bahwa inti mempunyai momentum sudut, sehingga terjadi gandengan antara momentum sudut inti dengan momentum sudut total dari elektron. Sebagaimana yang telah kita ketahui, inti terdiri dari A nukleon, yang masing-masing mempunyai momentum sudut orbital dan spin:
Jadi total vektor momentum sudut, apabila dipakai gandengan L S, ialah
Panjang vektor momentum sudut inti:
|I| =√I (I+1)h/2π
I = bilangan kuantum momentum sudut total inti, atau biasa disebut spin inti.
Dari (1):
I = (l+s), (l+s-1),...|l-s|
Maka jumlah harga I yang mungkin:
(2s+1) untuk s < l
(2l+1) untuk < s
Di dalam inti atom nukleon-nukleon mengalami gerak orbital, baik proton maupun neutron mempunyai momen magnetik.

     5.     Momen magnetik inti
Momen magnetik adalah Medan magnet yang dihasilkan oleh suatu atom, ditentukan oleh kombinasi berbagai macam momentum sudut. Di dalam inti atom nukleon-nukleon mengalami gerak orbital. Proton maupun neutron mempunyai momen magnetik yaitu Mp dan Mn.
Hubungan antara momen magnetik proton Mdengan momentum sudut orbital proton Lmemenuhi:

Komponen momen magnetik proton dalam arah sumbu z memenuhi:

Dengan Lml.
Nilai momen magnetik sudut orbit proton dalam arah sumbu z dapat dinyatakan:
Dengan µN dikenal sebagai magneton nuklir.
Hubungan antara momen magnetik spin proton Msp dengan momentum sudut spin proton Smemenuhi:

Nilai momen magnetik sudut spin proton dalam arah sumbu z :
Dengan cara yang sama hubungan antara momen magnetik sudut spin dan momen sudut spin untuk neutron memenuhi:

Selanjutnya nilai momen magnetik sudut spin neutron dalam arah sumbu z:

     6.     Momen Listrik Inti
Momen kuadrupol inti pertama kali dideteksi oleh Schuler dan Schmidt (1935) pada saat mereka menjelaskan   hyperfine stuktur  151Eu dan 153Eu. Adanya momen kuadrupol inti menunjukkan distribusi muatan inti tidak simetris bola, melainkan sedikit berdeviasi. Konsep multipol listrik  dapat diterangkan dengan teori potensial elektrostatis.

Pada umumnya multipol listrik dapat dinyatakan dengan 2. Berdasarkan angka 2 tersebut maka untuk :
l = 0 ; 21 ; monopol
= 1 ; 2= 2 dipol
l = 2 ; 2 = 4 kuadrupol
l = 3 ; 2= 8 oktupol
l = 4 ; 24 = 16 hexadecapol

B. Sifat Inti Bergantung Waktu
 1.      Peluruhan Radioaktif
Peluruhan radiokatif adalah peristiwa hilangnya energi dari inti atom yang tidak stabil dengan memancarkan radiasi dan partikelpartikel pengion. Peluruhan, atau hilangnya energi, ini akan menghasilkan jenis atom lain yang stabil. Atom baru yang dihasilkan ini dinamakan inti anak (daughter nuclide), sedangkan atom yang meluruh dinamakan inti ibu (parent nuclide). Sebagai contoh, atom karbon14 (ibu) akan memancarkan radiasi dan berubah menjadi atom nitrogen14 (anak). Peristiwa peluruhan merupakan peristiwa yang acak di tingkat atom, sehingga sangat sulit untuk memrakirakan kapan suatu atom tertentu akan meluruh. Yang bias kita lakukan adalah meperkirakan rerata peluruhan dari banyak atom yang sama.
Satuan SI untuk peluruhan radiokatif adalah becquerel (Bq). Satu Bq didefinisikan sebagai satu perubahan (atau peluruhan) per detik. Karena suatu sampel bahan radioaktif berisi banyak atom, satu Bq adalah ukuran aktivitas yang sangat kecil; sehingga jumlah dalam orde TBq (terabecquerel) atau GBq (gigabecquerel) banyak dipergunakan. Satuan radioaktivitas yang lain adalah curie (Ci), yang pada awalnya didefinisikan sebagai aktivitas satu gram radium murni, isotop Ra226. Sekarang ini satu Ci didefinisikan sebagai aktivitas sebarang radionuklida yang meluruh dengan laju disintegrasi sebesar 3.7 × 1010 Bq. Ditinjau dari jenis dan besar energinya, radiasi radiokatif dibedakan menjadi tiga macam (yang dinamakan sesuai dengan urutan alphabet Yunani), yaitu radiasi alfa, beta, dan gamma. Peluruhan alfa hanya terjadi pada unsurunsur berat saja (dengan nomor atom ≥ 52), sedangkan dua jenis peluruhan yang lain bisa terjadi pada semua unsur.

Ø Peluruhan alfa, terjadi ketika suatu inti memancarkan partikel alfa (inti helium yang terdiri dari dua proton dan dua neutron). Hasil peluruhan ini adalah unsur baru dengan nomor atom yang lebih kecil.
Ø Peluruhan beta, diatur oleh gaya lemah, dan dihasilkan oleh transformasi neutron menjadi proton, ataupun proton menjadi neutron. Transformasi neutron menjadi proton akan diikuti oleh emisi satu elektron dan satu antineutrino, manakala transformasi proton menjadi neutron diikuti oleh emisi satu positron dan satu neutrino. Emisi elektron ataupun emisi positron disebut sebagai partikel beta. Peluruhan beta dapat meningkatkan maupun menurunkan nomor atom inti sebesar satu.
Ø Peluruhan gama, dihasilkan oleh perubahan pada aras energi inti ke keadaan yang lebih rendah, menyebabkan emisi radiasi elektromagnetik. Hal ini dapat terjadi setelah emisi partikel alfa ataupun beta dari peluruhan radioaktif.
Jenis-jenis peluruhan radioaktif lainnya yang lebih jarang meliputi pelepasan neutron dan proton dari inti, emisi lebih dari satu partikel beta, ataupun peluruhan yang mengakibatkan produksi elektron berkecepatan tinggi yang bukan sinar beta, dan produksi foton berenergi tinggi yang bukan sinar gama. Tiap-tiap isotop radioaktif mempunyai karakteristik periode waktu peluruhan (waktu paruh) yang merupakan lamanya waktu yang diperlukan oleh setengah jumlah sampel untuk meluruh habis. Proses peluruhan bersifat eksponensial, sehingga setelah dua waktu paruh, hanya akan tersisa 25% isotop.
2.       Reaksi Inti
Reaksi inti sangat berbeda dengan reaksi kimia, karena pada dasarnya reaksi inti ini terjadi karena tumbukan (penembakan) inti sasaran (target) dengan suatu proyektil (peluru). Secara skematik reaksi inti dapat digambarkan:
Pada reaksi inti ini terjadi perubahan unsur karena ditumbuk zarah nuklir atau zarah radioaktif yang dapat dinyatakan oleh persamaan reaksi:
Atau A (a, b) B
dengan A adalah unsur semula, B adalah unsur yang terjadi, a dan b adalah zarah yang ditumbukkan dan yang terpental, dan Q adalah energi panas yang mungkin timbul dalam reaksi inti tersebut. Apabila b = a, dan B = A, maka pada reaksi tersebut adalah hamburan. Misalnya:
dengan p adalah proton. Dalam hal ini, hamburannya tidak elastis dengan energi kinetik proton yang terdisipasi untuk mengeksitasi inti Mg yang pada deeksitasinya mengeluarkan sinar gamma. Pada reaksi inti berlaku hukum: a. kekekalan momentum linier dan momentum sudut, b. kekekalan energi, c. kekekalan jumlah muatan (nomor atom), d. kekekalan jumlah nukleon (nomor massa). Dengan demikian, momentum, energi, nomor atom, dan nomor massa inti-inti sebelum reaksi harus sama dengan momentum, energi, nomor atom, dan nomor massa inti setelah reaksi.
Suatu reaksi inti bisa menghasilkan atau memerlukan energi. Besarnya energi Q bisa dihitung berdasarkan reaksi pada persamaan (11.13). Dalam perhitungan energi reaksi inti, semua massa inti dinyatakan dalam satuan sma (satuan massa atom). Menurut Einstein, energi total yang dimiliki suatu massa m adalah:
dengan c adalah kelajuan cahaya (3 × 108 m/s). Dari persamaan (11.14) untuk 1 sma, energi yang dimiliki adalah 931,5 MeV. Dengan demikian, persamaan energi (berdasarkan hukum kekekalan energi) dapat dituliskan:
Atau
Dari persamaan (11.15), jika diperoleh nilai Q > 0, maka reaksinya disebut reaksi eksoterm, yaitu reaksi di mana terjadi pelepasan energi. Sebaliknya, jika Q < 0, maka reaksinya disebut reaksi endoterm, yaitu reaksi yang memerlukan energi. Persamaan (11.15) menunjukkan bahwa pada prinsipnya, energi reaksi adalah sama dengan perubahan massa inti sebelum reaksi dan sesudah reaksi. Hal inilah yang dinyatakan Einstein sebagai kesetaraan massa-energi.

Selasa, 19 Januari 2016

Kesenian Sarafal Anam sebagai Kebudayaan Suku Lembak Bengkulu

Ini adalah artikel pertama saya mengenai kebudayaan yang ada disalah satu tempat kelahira saya, yaitu tepatnya kebudayaan daru suku Lembak , Kota Bengkulu. Pada tulisan kali ini, hal yang melatarbelakangani saya untuk mengkaji hal ini dikarenakan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah saya di Universitas pada saat semester 2 (Ilmu Sosial Budaya Dasar). 

Pada tulisan saya ini, saya akanmembahas mengenai salah satu kesenian asli masyarakat suku lembak yaitu kesenian Sarafal Anam. Alasan saya berani mengambil topik ini karena saya merupakan anak asli keturunan suku Lembak Kota Bengkulu yaitu di daerah Jalan Nangka atau Panorama. Kedua orang tua saya adalah putra dan putri asli suku Lembak, dan ayah saya sendiri adalah salah satu pengurus kesenian sarafal anam ini di klubnya. 

            Pertama kita akan mengetahui, apa itu sarafal anam ??

Sarafal Anam atau biasa disebut dengan ( Bedikir = Berzikir ) adalah salah satu bentuk kesenian yang ada pada masyarakat suku Lembak, Bengkulu. Sarafal Anam merupakan suatu budaya kebanggaan masyarakat suku Lembak. Kesenian Sarafal Anam ini disajikan dalam bentuk seperti mengiramakan sebuah lagu, namun lagu yang digunakan adalah lagu-lagu yang bernuansa Islami dan juga berisi tentang puji-pujian terhadap Rasul atau Nabi.

Kesenian Sarafal Anam sebagai salah satu budaya suku lembak diperkirakan mulai masuk pada tahun 1500-an beriringan dengan masuknya perkembangan agama Islam di Bengkulu. Kesenian ini masih dapat kini temui sampai pada saat ini, khususnya oleh masyarakat asli Lembak di Bengkulu. Kesenian Sarafal Anam ini biasanya disajikan pada acara-acara tertentu, misalnya pada pesta perkawinan suku Lembak, pada acara aqiqah, pada acara tamat kaji, dll.


Gambar Kesenian Sarafal Anam

            Pada saat ini khususnya didaerah Dusun Besar, masih dapat dengan mudah kita temui perkumpulan kesenian sarafal anam ini, atau yang biasa disebut masnyarakat lembak dengan Klub Bedikir. Tidak hanya dimainkan saat acara-acara tertentu saja, kesenian ini juga memiliki jadwal latihan tertentu sesuai dengan klub masing-masing, jadwal itu biasanay diadakan satu kali dalam seminggu, yang dilakukan di rumah-rumah anggota klub bedikir ini secara bergantian tiap minggunya, dan latihan ini biasanya diadakan pada malam hari. Kesenian Sarafal Anam ini sudah menjadi hobbi bagi kaum laki-laki masyarakat suku Lembak.

            Untuk gambaran alat yang digunakan adalah rebana besar, yang terbuat dari kulit kambing, dan didalamnya ada lilitan rotan yang melingkari bentuk rabana tersebut yang berfungsi untuk menambahkan efek nyaring pada saat rebana tersebut di tabuh, biasanya cara penggunaanya tangan kiri menahan rebana tersebut dan tangan kanan menabuh rebana tersebut sesuai dengan ketukan pada setiap lagu yang dibawakan. Memainkan kesenian Sarafal Anam ini bisa dilakukan secara berdiri maupun sambil duduk.

Tampak Sisi Depan Rabana

Tampak Sisi Samping Raban dengan Bilahan-Bilahan Rotan

Tampak Sisi Belakang dari Rebana





Lagu atau syair yang biasa di senandungkan adalah sebagai berikut Ya Nabi Salam, Yassyeh, Selatun Selamon, Selatun Minalmaulai, Nabi Adam, Abu Bakar, dll. Dari ulusan yang tlah saya kaji diatas dapat kita jabarkan atau kita lihat nilai-nilai yang terkandung pada Budaya Kesenian Sarafal Anam tersebut, nilai-nilai tersebut adalah :
1.      Nilai Sosial
Dari adanya kesenian sarafal anam ini dapat kita simpulkan adanya ikatan kebersamaan, kekeluargaan, dan solidaritas yang kuat  antar sesama anggota klub.
2.      Nilai Kerohanian
Dari adanya kesenian sarafal anam ini kita dapat melihat adanya nilai religi ( islami ) yang tinggi, dimana lagu-lagu yang dibawakan itu berisi tentang puji-pujian terhadap rasul atau nabi.
3.      Nilai Keindahan
Dari adanya kesenian sarafal anam ini timbulnya nilai estetika atau nilai keindahan yang tinggi, dapat dilihat dari irama-irama lagu dan dari bunyi tabuhan-tabuhan yang keluar dari rebana tersebut sehingga menghasilkan sebuah harmonisasi nada yang indah, dan juga dapat kita lihat dari cara berpakaian pada saat melakukan kesenian ini dimana pakaian yang dikenakan harus rapi, menggunakan kain, dan juga meggunakan peci, sehingga menimbulkan nilai keindahan tersendiri bagi kita yang melihatya.

            Sehingga berdasarkan analisis saya mengenai salah satu kebudayaan masyarakt suku Lembak Bengkulu, yaitu Kesenian Sarafal Anam dapat disimpulkan bahwa kesenian ini masih sangat dianut dan dipelihara oleh masyarakat Lembak di Bengkulu khususnya yang saya analisis ini suku Lembak di daerah Dusun Besar dan telah menjadi salah satu budaya kebanggaan masyarakat suku Lembak.

Konsep Dasar Mengajar

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Mengajar
            Dalam   konsep   dasar   mengajar   dijelaskan   hal-hal   sebagai   berikut.
 a. Mengajar sebagai Proses Menyampaikan Materi Pelajaran
      Secara deskripstif mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses penyampaian itu sering juga dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Kata mentransfer dalam konteks ini diartikan sebagai proses menyebarluaskan, seperti menyebarluaskan atau memindahkan api. Ketika api dipindakan atau disebarluaskan, maka api itu tidaklah menjadi kecil akan tetapi menjadi semakin besar. Untuk proses mengajar, sebagai proses menyampaikan pengetahuan, akan lebih tepat jika diartikan dengan menanamkan ilmu pengetahuan seperti yang dikemukakan Smith (1987) bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan atau keterampilan (teaching is imparty knowledge or skill).
       Secara umum mengajar diartikan sebnagai usaha guru untuk menyampaikan dan menanamkan pengetahuan kepada anak didik. Kenyataan mengajar yang lebih menekankan transfer of knowledge, inilah justru banyak berkembang disekolah-sekolah. Kebanyakan guru dan orang tua wali sudah merasa puas kalau anak didik mendapat nilai baik pada hasil ulangannya. Jadi yang penting dalam hal ini siswa dituntut mengetahui pengetahuan yang telah diajarkan oleh gurunya yang penting adalah kecerdasan otaknya, bagaimana perilaku dan sikap mental anak didik jarang mendapatkan perhatian. Padahal tujuan belajar secara esensial disamping untuk mendapatkan pengetahuan, jugs untuk meningkatkan keterampilan dan pembinaan sikap mental. Maka tidak cukup mengajar dilakukan dengan sifat transfer of knowledge, mengajar harus sekaligus mendidik. Mendidik dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik kearah kedewasaannya baik secara jasmani maupun rohani (Sardiman, 2011: 52-53).
Sebagai proses menyampaikan atau menanamkan ilmu pengetahhuan maka mengajar mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Proses Pengajaran Berorientasi pada Guru (Teacher Centered)
Dalam kegiatan belajar mengajar guru memegang peranan sangat penting. Sehubungan dengan proses pembelajaran yang berpusat pada guru, maka minimal ada tiga peran utama yang harus dilakukan guru, yaitu guru sebagai perencana, sebagai penyampaian informasi, dan guru sebagai evaluator. Sebagai perencana pengajaraan sebelum proses pengajaran guru harus menyiapkan materi pelajaran apa yang harus disampaikan, bagaimana cara menyampaikannya, dan media apa yang harus digunakan. Dalam melaksanakan perannya sebagai penyampai informasi, sering guru mengggunakan metode ceramah sebagai metode utama, sedangkan sebagai evaluator guru juga berperan dalam menentukan alat evaluasi keberhasilan pengajaran.
2. Siswa sebagai Objek Belajar
     Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran menempatkan siswa sebagai objek yang harus menguasai pelajaran. Peran siswa adalah sebagai penerima informasi yang diberikan guru. Jenis informasi dan pengetahuan yang harus dipelajari terkadang tidak berpijak dari kebutuhan siswa baik dari segi pengembangan bakat maupun dari minat siswa. Pendidikan pada dasarnya adala proses pengembangan potensi peserta didik. Oleh karena itu pembelajaran hendaknya dirancang untuk mengembangkan potensi tesebut. Di dalam proses belajar mengajar guru sebagai pengajar dan siswa sebagai subjek belajar dituntut adanya profil kualifikasi tertentu dalam hal pengetahuan, kemampuan, sikap, dan tata nilai, serta sifat-sifat pribadi agar proses itu dapat berlangsung secara efektif dan efesien (Sardiman, 2011:9).
3. Kegiatan Pengajaran terjadi pada Tempat dan Waktu Tertentu
Proses pengajaran berlangsung pada tempat tertentu, misalnya terjadi di dalam kelas dengan penjadwalan yang ketat sehingga siswa hanya belajar manakala ada kelas yang telah di desain sedemikian rupa sebagai tempat belajar.
4. Tujuan Utama Pengajaran adalah Penguasaan Materi Pelajaran
Keberhasilan suatu proses pengajaran di ukur dari sejauh mana siswa dapat
              menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru. Oleh karena itu kriteria keberhasilan ditentukan oleh penguasaan materi pelajaran, maka alat evaluasi yang digunakan adalah tes hasil belajar tertulis (paper and pencil test) yang dilaksanakan secara periodik.
b. Mengajar sebagai Proses Mengatur Lingkungan  
       Pandangan lain mengajar dianggap sebagai proses mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar. Terdapat beberapa karakteristik dari jonsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan itu.
1. Mengajar Berpusat pada Siswa (Student Centered)
Mengajar tidak ditentukan oleh selera guru, akan tetapi sangat ditentukan oleh siswa itu sendiri. Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar sesuai dengan gayanya sendiri. Dengan demikian peran guru berubah dari peran sumber belajar menjadi peran sebagai fasilitator. Tujuan utama mengajar adalah membelajarkan siswa. Oleh sebab itu kriteria keberhasilan proses mengajar tidak di ukur dari sejau mana siswa telah menguasai materi pelajaran, tetapi diukur dari sejauh mana siswa telah melakukan proses belajar. Di sini guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar tetapi berperan sebagai orang yang membibing dan memfasilitasi agar siswa mau dan mampu belajar. Inilah makna proses pembelajaran berpusat pada siswa.
2. Siswa sebagai Subject Belajar
Dalam konsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan, siswa tidak dianggap organisme yang pasif yang hanya sebagai penerima infomasi, akan tetapi dipandang sebagai organisme yang aktif, yang memiliki potensi untuk berkembang.
3. Proses Pembelajaran Berlangsung di Mana Saja
Proses pembelajaran berlangsung dimana saja, kelas bukanlah satu-satunya tempat belajar siswa. Siswa dapat memanfaatkan berbagai tempat belajar sesuai dengan kebutuhan dan sifat metri pelajaran.


4. Pembelajaran Berorientasi pada Pencapaian Tujuan
Tujuan pembelajaran bukanla penguasaan materi pelajaran, akan tetapi proses untuk mengubah tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Untuk itulah metode dan strategi yang digunakan guru tidak hanya sekedar metode cermah, tetapi menggunakan berbagai metode, seperti diskusi, penugasan, kunjungan objek-objek tertentu dan lain sebagainya.

2.2 Perlunya Perubahan Paradigma tentang Mengajar
Pandangan mengajar bukan hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan, karena itu dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan. Minimal ada tiga alasan penting. Alasan inilah yang kemudian menuntut perlu terjadinya perubaan paradigma mengajar, dari mengajar dari sebatas menyampaikan materi kepada pengajar sebagai proses pengatur lingkungan.
a. Siswa bukan orang dewasa dalam mini, tetapi mereka adalah organisme yang sedang berkembang. Agar mereka dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, dibutuhkan orang dewasa yang dapat mengarakan dan membimbing mereka agar tumbu dan berkembang secara optimal. Oleh karena itulah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi yang memungkinkan setiap siswa dapat dengan muda mendapatkan berbagai informasi, tugas, dan tanggung jawab guru bukan semakin sempit namun justru semakin komplek. Guru bukan saja dituntut untuk lebih aktif mencari informasi yang dibutuhkan, akan tetapi harus mempu menyeleksi berbagai informasi, sehingga dapat menunjukkan pada siswa informasi yang dianggap perlu dan penting dalam bagi keidupan mereka. Guru tidak lagi memposisikan diri sebagai sumber belajar yang bertugas menyampaikan informasi, tetapi harus berperan sebagai pengelola sumber belajar untuk dimanfaatkan siswa itu sendiri.
b. Ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang tidak
mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Begitu hebatnya perkembangan limu biologi, ilmu ekonomo, hokum, dan lain sebagainya dalam bidang teknologi, semua dibalik kehebatan itu, bersumber dari apa yang kita sebut sebagai pengetahuan. Bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal informasi, mengahafal rumus-rumus, tetapi bagaimana menggunakan informasi dan pengetahuan itu untuk mengasah kemampuan berpikir.
c. Penemuan   baru   khususnya   dalam   bidang   psikologi, mengakibatkan 
     pemahaman baru terhadap konsep perubahan tingkah laku manusia. Bahwa manusia adalah organisme yang memiliki potensi seperti yang dikembangkan oleh aliran kognitif holistik. Potensi itulah yang akan menentukan prilaku manusia. Oleh karena itu, proses pendidikan bukan lagi memberikan stimulus, tetapi usaha mengembangkan potensi yang dimiliki.
 Ketiga hal diatas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar jangan diartikan sebagai proses menyampaikan materi pembelajaran atau memberikan stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi lebih dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya.
Pengaturan lingkungan adalah proses menciptakan iklim yang baik seperti penataan lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran, dan hal-hal lain yang memungkinkan siswa betah dan merasa senang belajar sehingga mereka dapat berkembang secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan potensi yang dimilikinya. Istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran. Yang dapat diartikan sebagai proses pengaturan lingkungan yang diarahkan untuk mengubah perilaku siswa kearah yang positif dan lebih baik sesuai dengan potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa. Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction” yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif holistic yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan untuk mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Hal ini seperti diungkapkan oleh Gagne (1992:3) yang menyatakan bahwa, “instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated.” Oleh karena itu menurut Gagne, mengajar atau teaching merupakan bagian dari pembelajaran (instruction), dimana peran guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu. Dalam istilah “pembelajaran” yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil teknologi yang dapat dimnfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa diposisikan sebagai subjek belajar yang memegang peranan yang utama, sehingga dalam setting proses belajar mengajar siswa dituntut beraktivitas secara penuh, bahkan secara individual mempelajari bahan pembelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar (pengajaran)” atau “teaching” menempatkan guru sebagai “pemeran utama” memberikan informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, memanage berbagai sumber dan fasilitas untuk dipelajari siswa.

2.3 Makna Mengajar dalam Standar Proses Pendidikan
     Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Makna lain dari mengajar sering diistilahkan dengan pembelajaran. Hal yang mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus dijadikan sebagai pusat dari kegiatan. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kopetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu mampu menjadi pembelajaran sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar.
     Dalam implemantasinya, walaupun istilah yang digunakan “pembelajaran”, tidak berarti guru harus menghilangkan perannya sebagai pengajar, sebab secara konseptual pada dasarnya dalam istilah mengajar itu juga bermakna membelajarkan siswa. Belajar mengajar adalah dua istilah yang memiliki satu makna yang tidak dapat dpisahkan. Mengajar adalah suatu aktivitas yang dapat membuat siswa belajar. Keterkaitan antara mengajar  dan belajar diistilahkan Dewey sebagai “menjual dan membeli”, teaching is to learning ass selling to buying. Artinya, seseorang tidak mungkin akan menjual, manakala tidak ada orang yang membeli, yang berarti tak akan ada perbuatan mengajar manakala tidak membuat seseorang belajar. Dengan demikian, dalam istilah mengajar juga terkandung proses belajar siswa. Dalam istilah pembelajaran, guru tetap harus berperan secara optimal, demikian juga halnya dengan siswa. Perbedaan dominasi dan aktivitas diatas, hanya menunjukan kepada perbedaan tugas-tugas atau perlakuan guru dan siswa terhadap materi dan proses pembelajaran. Dari uraian itu, maka terlihat jelas bahwa istilah “pembelajaran” (instruction) itu menunjukan pada usaha siswa mempelajari bahan pelajaran sebagai akibat perlakuan guru. Di sini jelas, proses pembelajaran yang dilakukan siswa tidak mungkin terjadi tanpa perlakuan guru, yang membedakan hanya pada peranananya saja.
     Bruce Weil (1980) mengemukakan tiga prinsip penting dalam proses pembelajaran, yaitu :
a. Proses pembelajaran adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat   membentuk atau mengubah struktur atau kognitif siswa.
b. Berhubungan dengan tipe-tipe pengetahuan yang harus dipelajari. Ada tiga tipe pengetahuan yaitu:
1. Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat dari suatu objek atau kejadian seperti bentuk, besar, berat, serta bagaimana objek itu berinteraksi satu dengan yang lainnya.
 2. Pengetahuan sosial berhubungan dengan perilaku individu dalam suatu sistem sosial atau hubungan antara manusia yang dapat mempengaruhi interaksi sosial. Contoh pengetahuan tentang aturan hukum, moral, nilai, bahasa, dan lain sebagainya.
3. Pengetahuan logika berhubungan dengan berpikir matematis, yaitu pengetahuan yang dibentuk berdasarkan pengalaman dengan suatu objek dan kejadian tertentu.
c. Dalam proses pembelajaran harus melibatkan peran lingkungan sosial. Anak- akan lebih baik mempelajari pengetahuan logika dan sosial dari temannya sendiri. Melalui pergaulan dan hubungan sosial, anak akan belajar lebih efektif dibandingkan dengan belajar yang menjauhkan dari hubungan sosial. Oleh karena itu, melalui hubungan sosial itulah anak akan berinteraksi dan berkomunikasi, berbagi pengalaman dan lain sebagainya, yang memungkinkan mereka berkembang secara wajar.
          Atas dasar uraian diatas, maka proses pembelajaran harus diarahkan agar siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah, meliputi kopetensi yang dimiliki, yang meliputi kopetensi akademik, kopetensi okupasional, kopetensi kultural, dan kopetensi temporal.         Dari penjelasan diatas, maka makna pembelajaran dalam konteks standar proses pendidikan ditunjukan oleh beberapa ciri yang dijelaskan berikut ini.
1. Pembelajaran adalah proses berpikir
Belajar adalah proses berpikir. Belajar berpikir menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui interaksi antara individu dengan lingkungan. Menurut Bettencourt (1985) mengajar dalam berpikir adalah berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Dalam proses pembelajaran La Costa (1985) mengklafikasikan mengajar berpikir menjadi tiga, yaitu 1) Teaching of thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental tertentu, seperti misalnya keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan lain sebagainya. 2)  Teaching for thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan pada usaha untuk menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong terhadap perkembangan kognitif. 3) Teaching about thinking adalah pembelajaran yang diarahkan pada upaya untuk membantu agar siswa lebih sadar terhadap proses berpikirnya.
2.  Proses pembelajaran adalah memanfaatkan potensi otak
Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. Menurut beberapa ahli, otak manusia terdiri dari dua bagian, yaitu otak kanan dan otak kiri. Masing-masing belahan otak memiliki spesialisasi  dalam kemampuan-kemampuan tertentu. Proses berpikir otak kiri, bersifat logis, skuensial, linier, dan rasional. Sisi ini sangat teratur. walaupun berdasarkan realitas, ia mampu melakuka penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi audotorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik serta simbolis (De Porter, 1992).
3.   Pembelajaran berlangsung sepanjang hayat
Belajar adalah proses yang terus-menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas, pada dinding kelas. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa sepanjang kehidupannya manusia akan selalu dihadapkan pada masalah atau tujuan yang ingin dicapainya. Dalam proses mencapai tujuannya, manusia akan dihadapkan beberapa rintangan. Dikatakan manusia yang berhasil sukses manakala ia dapat menebus rintangan itru, dan dikatakan manusia gagal manakala ia tidak dapat melewati rintangan yang dihadapinya.  Atas dasar itulah sekolah berperan sebagai wahana untuk memberikan latihan bagaimana cara belajar. Melalui kemampuan bagaimana cara belajar, siswa akan dapat belajar memecahkan setiap rintangan yang dihadapi sampai akhir hayatnya.
Prinsip belajar sepanjang hayat seperti yang telah dikemukakan diatas sejalan dengan empat pilar pendidikan universal seperti yang dirumuskan oleh UNESCO (1996), yaitu:
 a. Learning to know atau learning to learn mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar.
b. Learning to do mengandung pengertian bahwa belajr itu bukan hanya sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan, tetapi belajar untuk berbuat ddengan tujuan akhir penguasaan kompetensi yang sangat diperlukan dalam era persaingan global.
c.  Learning to be mengandung pengertian belajar adalah mebentuk manusia yang “menjadi diri sendiri“. Dengan kata lain, belajar untuk mengaktualisasi dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia.
d. Learning to live together adalah belajar untuk bekerja sama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat global dimana manusia baik secara individual maupun secara kelompok tak mungkin bisa hidup sendiri atau mengasingkan diri bersama kelompoknya.

2.4 Teori-teori Belajar
   Belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Hilgard mengungkapkan: “Learning is the process by wich an activity originates or changed through training procedurs (wether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from changes by factors not atributable to training.” Bagi Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku.
     Proses belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan mental yang tidak dapat dilihat. Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang belajar tidak dapat kita saksikan.
     Menurut John Locke, manusia merupakan organisme yang pasif. Ia menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulis apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan itu, memunculkan aliaran belajar behavioristik-elementeristik. Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif. Manusia merupakan sumber dari pada semua kegiatan. Pada hakikatnya manusia bebas untuk berbuat; manusia bebas untuk memembuat suatu pilihan dalam setiap situasi. Titik pusatnya adalah kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan ini melahirkan aliaran beljar kognitif-holistik. Aliran behavioristik-elementeristik dan aliran kognitif-holistik, memiliki perbedaan. Perbedaan kedua aliran ini dapat dilihat pada table dibawah ini.



Perbedaan Aliran Behavioristik dan Kognitif

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
TEORI BELAJAR KOGNITIF
Mementingkan pengaruh lingkungan
Mementingkan apa yang ada dalam diri
Mementingkan bagian-bagian
Mementingkan keseluruhan
Mengutamakan peranan reaksi
Mengutamakan fungsi kognitif
Hasil belajar terbentuk secara mekanis
Terjadi keseimbangan dalam diri
Dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu
Tergantung pada kondisi saat ini
Mementingkan pembentukan kebiasaan
Mementingkan terbentuknya struktur kognitif
Memecahkan masalah dilakukan dengan cara trial and error
Memecahkan masalah didasarkan kepada insight

                   Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan respon (S-R). Oleh karena itu, teori ini juga disebut dengan teori Stimulus-Respon.
       Teori-teori belajar yang termasuk kedalam kelompok behavioristik diantaranya:
a. Koneksionisme, dengan tokohnya Thorndike
b. Classicak conditioning, dengan tokohnya Pavlop
c. Operant conditioning, yang dikembangkan oleh skinner
d. Systematic behavior, yang dikembangkan oleh Hull
e. Contiguous conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrin
    Sedangkan teori-teori yang termasuk kedalam kelompok kognitif holistic diantaranya :
a. Teori Gestalt, dengan tokohnya Kofka, Kohler, dan Wertheimer
b. Teori Medan (Field Theory), dengan tokohnya Lewin
c. Teori Organismik, yang dikembangkan oleh Wheeler
d. Teori Humanistik, dengan tokohnya Maslow dan Rogers
e. Teori Konstruktivistik, dengan tokohnya Jean Piaget
 1. Teori Belajar Behavioristik
a. Teori Belajar Koneksionisme
Dikembangkan oleh Thorndike (1913), menurut teori ini belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama.Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus-respon (S-R). Oleh karena itu lah teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respon. Throndike mengemukakan hukum-hukum belajar dalam teori koneksionisme sebagai berikut:
                1.  Hukum Kesiapan (law of readiness)
Menurut hukum ini, hubungan antara stimulus dan respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu.
     2.  Hukum latihan (law of exercise)
Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons. Hubungan atau koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan (law of use); dan koneksi-koneksi itu akan menjadi lemah karena latihan tidak dilanjutkan atau dihentikan (law of disuse). Implikasi dari hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasailah pelajaran itu. 
                3. Hukum akibat (law of effect)
Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Disamping itu, konsep penting dari teori belajar koneksionisme, Throndike adalah yang dinamakan transfer of training.
b. Teori Belajar Classical Conditioning
Seperti halnya dengan Thorndike, Pavlop dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu.
c. Operant Conditioning
               Dikembangkan oleh Skinner, merupakan pengembangan dari teori Stimulus Respon. Berbeda dengan tokoh lainnya, Skinner membedakan dua macam respon, yakni respondent response (reflexive response) dan operant response (instrumental response). Respondent response adalah respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu. Respon ini relatif tetap, artinya setiap ada stimulus semacam itu akan muncul respon tertentu. Dengan demikian perangsang-perangsang yang demikian itu mendahului respon yang ditimbulkan. Operant response (instrumental response) adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian disebut reinforcer, karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat respon yang telah dilakukan organisme. Jadi dengan demikian, perangsang tersebut mengikuti dan memperkuat suatu tingkah laku yang telah dilakukan.
    Pada perilaku manusia respondent response bersifat sangat terbatas, oleh karena itu sangat kecil untuk dimodifikasi. Sebaliknya operant response (instrumental response) sifatnya tidak terbatas, oleh karena itu kemungkinan untuk dapat dimodifikasi sangat besar. Dengan demikian, untuk mengubah tingkah laku kita dapat menggunakan instrumental response.
    Skinner berpendapat bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu perlu diurutkan atau dipecah-pecahkan menjadi bagian-bagian atau komponen tingkah laku yang spesifik. Selanjutnya, agar terbentuk pada tingkah laku yang diharapkan pada setiap tingkah laku yang spesifik yang telah direspon, perlu diberikan hadiah (reinforcer) agar tingkah laku itu terus menerus diulang, serta untuk memotivasi agar berlanjut kepada komponen tingkah laku selanjutnya sampai akhirnya pada pembentukan tingkah laku puncak yang diharapkan.
     Setiap komponen atau tingkah laku yang spesifik yang telah direspon anak perlu diberikan hadiah atau penguatan yang dapat menimbulkan rasa senang. Dengan demikian, anak akan terus mengulang perilaku tersebut dan melanjutkan pada komponen perilaku berikutnya.

   2. Teori Belajar Kognitif
     a.Teori Gestalt
Dikembangkan oleh Kofka, Kohler, Wertheimer. Menurut teori ini, belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yang menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis, sehingga mengabaikan atau mengingkari peranan insight. Namun teori Gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku. Belajar terjadi karena kemampuan menangkap makna dan keterhubungan antara komponen yang ada dilingkungannya. Insight yang merupakan inti dari belajar menurut teori gestalt, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kemampuan insight seseorang tergantung kepada kemampuan dasar orang tersebut, sedangkan kemampuan dasar itu tergantung kepada usia dan posisi yang bersangkutan dalam kelompoknya.
2. Insight dipengarauhi atau tergantung kepada pengalaman masa lalunya yang relevan.
3. Insight tergantung kepada pengaturan dan penyediaan lingkungannya.
4. Pengertian merupakan inti dari insight. Melalui pengertian individu akan dapat memecahlan persoalan. Pengertian itulah yang bisa menjadi kendaraan dalam memecahkan persoalan lain pada situasi yang berlainan.
5. Apabila insight telah diperoleh, maka dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dalam situasi lain. Disini terdapat semacam transfer belajar , namun yang ditransfer bukanlah materi yang dipelajari, tetapi relasi-relasi dan generalisasi yang diperoleh melalui insight.
Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini ( Nasution,1982):
1.  Belajar itu berdasarkan keseluruhan
Berbeda dengan teori belajar behavioristik yang menganggap bagian-bagaian lebih penting dari keseluruhan, namun teori ini justru menganggap bahwa keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagaian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Sebuah kata akan bermakna manakala ada dalam sebuah kalimat. Demikian juga kelaimat akan memiliki makna apabila ada dalam suatu rangkaian karangan. Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu maslah. Melalui maslah ini siswa dapat mempelajarai fakta.
2.  Anak yang belajar merupakan keseluruhan
 Prinsip ini mengandung pengertian bahwa mempelajarai anak itu bukan hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Apa artinya kemampuan intelektual manakala tidak diikuti sikap yang baik atau tidak diikuti oleh pengembangan seluruh potensi yang ada dalam diri anak. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada di dalam diri anak.
3.  Belajar berkat insight
                Telah diketahui bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permaslahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan pada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi itu, anak akan mendapat insight yang sangat berguna untuk menghadapi setiap masalah.
4.  Belajar berdasarkan pengalaman
Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu. Belajar adalah melakukan reorganisasi pengalaman-pengalaman masa lalu yang secara terus menerus disempurnakan. Inilah hakikat pengalaman. Dengan demikian, proses pembelajaran adalah proses memberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan anak.
     b. Teori Medan
Dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori Gestalt, teori ini menganggap bahwa belajar adalah proses pemecahan masalah. Beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan maslah menurut Lewin dalam belajar adalah sebagai berikut.
a. Belajar adalah Perubahan Struktur Kognitif
Setiap orang akan dapat memecahkan masalah jika ia bisa mengubah struktur kognitif.
b. Pentingnya Motivasi
Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk berperilaku. Motivasi muncul karena adanya daya tarik tertentu. Terkadang untuk mendapatkan daya tarik tersebut itu, seseorang dapat melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Itulah sebabnya selain diperlukan faktor pendorong melalui hadiah, juga diperlukan hukuman terutama apabila terjadi gejala-gejala perilaku yang tidak sesuai. Disamping itu, motivasi juga bisa muncul karena pengalaman yang menyenangkan.

    3. Teori Belajar Konstruktivitik
     Dikembangkan oleh Piaget. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakana. Pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan.
    Mengkonstruksi pengetahuan menurut Piaget dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada. Skema adalah struktur kognitif yang terbentuk melalui proses pengalaman. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema yang telah terbentuk, dan akomodasi adalah proses perubahan skema.  







DAFTAR PUSTAKA

Dimyati,  Mudjiono. 2006.   Belajar  dan  Pembelajaran.  Jakarta:  Rineka  Cipta

Sanjaya,  Wina.   2009.    Strategi    Pembelajaran   Berorientasi   Standar   Proses
               Pendidikan. Jakarta: Kencana

Sardiman. 2011.  Interaksi  dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Gravindo

               Persada