#top-social-profiles{height:42px;text-align:right}#top-social-profiles img{margin:0 6px 0 0px !important} #top-social-profiles img:hover{opacity:0.8} #top-social-profiles .widget-container{background:none;padding:0;border:0} .social-profiles-widget img{margin:0 6px 0 0} .social-profiles-widget img:hover{opacity:0.8}

Total Tayangan Halaman

Selasa, 19 Januari 2016

Konsep Dasar Mengajar

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Mengajar
            Dalam   konsep   dasar   mengajar   dijelaskan   hal-hal   sebagai   berikut.
 a. Mengajar sebagai Proses Menyampaikan Materi Pelajaran
      Secara deskripstif mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses penyampaian itu sering juga dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Kata mentransfer dalam konteks ini diartikan sebagai proses menyebarluaskan, seperti menyebarluaskan atau memindahkan api. Ketika api dipindakan atau disebarluaskan, maka api itu tidaklah menjadi kecil akan tetapi menjadi semakin besar. Untuk proses mengajar, sebagai proses menyampaikan pengetahuan, akan lebih tepat jika diartikan dengan menanamkan ilmu pengetahuan seperti yang dikemukakan Smith (1987) bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan atau keterampilan (teaching is imparty knowledge or skill).
       Secara umum mengajar diartikan sebnagai usaha guru untuk menyampaikan dan menanamkan pengetahuan kepada anak didik. Kenyataan mengajar yang lebih menekankan transfer of knowledge, inilah justru banyak berkembang disekolah-sekolah. Kebanyakan guru dan orang tua wali sudah merasa puas kalau anak didik mendapat nilai baik pada hasil ulangannya. Jadi yang penting dalam hal ini siswa dituntut mengetahui pengetahuan yang telah diajarkan oleh gurunya yang penting adalah kecerdasan otaknya, bagaimana perilaku dan sikap mental anak didik jarang mendapatkan perhatian. Padahal tujuan belajar secara esensial disamping untuk mendapatkan pengetahuan, jugs untuk meningkatkan keterampilan dan pembinaan sikap mental. Maka tidak cukup mengajar dilakukan dengan sifat transfer of knowledge, mengajar harus sekaligus mendidik. Mendidik dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik kearah kedewasaannya baik secara jasmani maupun rohani (Sardiman, 2011: 52-53).
Sebagai proses menyampaikan atau menanamkan ilmu pengetahhuan maka mengajar mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Proses Pengajaran Berorientasi pada Guru (Teacher Centered)
Dalam kegiatan belajar mengajar guru memegang peranan sangat penting. Sehubungan dengan proses pembelajaran yang berpusat pada guru, maka minimal ada tiga peran utama yang harus dilakukan guru, yaitu guru sebagai perencana, sebagai penyampaian informasi, dan guru sebagai evaluator. Sebagai perencana pengajaraan sebelum proses pengajaran guru harus menyiapkan materi pelajaran apa yang harus disampaikan, bagaimana cara menyampaikannya, dan media apa yang harus digunakan. Dalam melaksanakan perannya sebagai penyampai informasi, sering guru mengggunakan metode ceramah sebagai metode utama, sedangkan sebagai evaluator guru juga berperan dalam menentukan alat evaluasi keberhasilan pengajaran.
2. Siswa sebagai Objek Belajar
     Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran menempatkan siswa sebagai objek yang harus menguasai pelajaran. Peran siswa adalah sebagai penerima informasi yang diberikan guru. Jenis informasi dan pengetahuan yang harus dipelajari terkadang tidak berpijak dari kebutuhan siswa baik dari segi pengembangan bakat maupun dari minat siswa. Pendidikan pada dasarnya adala proses pengembangan potensi peserta didik. Oleh karena itu pembelajaran hendaknya dirancang untuk mengembangkan potensi tesebut. Di dalam proses belajar mengajar guru sebagai pengajar dan siswa sebagai subjek belajar dituntut adanya profil kualifikasi tertentu dalam hal pengetahuan, kemampuan, sikap, dan tata nilai, serta sifat-sifat pribadi agar proses itu dapat berlangsung secara efektif dan efesien (Sardiman, 2011:9).
3. Kegiatan Pengajaran terjadi pada Tempat dan Waktu Tertentu
Proses pengajaran berlangsung pada tempat tertentu, misalnya terjadi di dalam kelas dengan penjadwalan yang ketat sehingga siswa hanya belajar manakala ada kelas yang telah di desain sedemikian rupa sebagai tempat belajar.
4. Tujuan Utama Pengajaran adalah Penguasaan Materi Pelajaran
Keberhasilan suatu proses pengajaran di ukur dari sejauh mana siswa dapat
              menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru. Oleh karena itu kriteria keberhasilan ditentukan oleh penguasaan materi pelajaran, maka alat evaluasi yang digunakan adalah tes hasil belajar tertulis (paper and pencil test) yang dilaksanakan secara periodik.
b. Mengajar sebagai Proses Mengatur Lingkungan  
       Pandangan lain mengajar dianggap sebagai proses mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar. Terdapat beberapa karakteristik dari jonsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan itu.
1. Mengajar Berpusat pada Siswa (Student Centered)
Mengajar tidak ditentukan oleh selera guru, akan tetapi sangat ditentukan oleh siswa itu sendiri. Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar sesuai dengan gayanya sendiri. Dengan demikian peran guru berubah dari peran sumber belajar menjadi peran sebagai fasilitator. Tujuan utama mengajar adalah membelajarkan siswa. Oleh sebab itu kriteria keberhasilan proses mengajar tidak di ukur dari sejau mana siswa telah menguasai materi pelajaran, tetapi diukur dari sejauh mana siswa telah melakukan proses belajar. Di sini guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar tetapi berperan sebagai orang yang membibing dan memfasilitasi agar siswa mau dan mampu belajar. Inilah makna proses pembelajaran berpusat pada siswa.
2. Siswa sebagai Subject Belajar
Dalam konsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan, siswa tidak dianggap organisme yang pasif yang hanya sebagai penerima infomasi, akan tetapi dipandang sebagai organisme yang aktif, yang memiliki potensi untuk berkembang.
3. Proses Pembelajaran Berlangsung di Mana Saja
Proses pembelajaran berlangsung dimana saja, kelas bukanlah satu-satunya tempat belajar siswa. Siswa dapat memanfaatkan berbagai tempat belajar sesuai dengan kebutuhan dan sifat metri pelajaran.


4. Pembelajaran Berorientasi pada Pencapaian Tujuan
Tujuan pembelajaran bukanla penguasaan materi pelajaran, akan tetapi proses untuk mengubah tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Untuk itulah metode dan strategi yang digunakan guru tidak hanya sekedar metode cermah, tetapi menggunakan berbagai metode, seperti diskusi, penugasan, kunjungan objek-objek tertentu dan lain sebagainya.

2.2 Perlunya Perubahan Paradigma tentang Mengajar
Pandangan mengajar bukan hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan, karena itu dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan. Minimal ada tiga alasan penting. Alasan inilah yang kemudian menuntut perlu terjadinya perubaan paradigma mengajar, dari mengajar dari sebatas menyampaikan materi kepada pengajar sebagai proses pengatur lingkungan.
a. Siswa bukan orang dewasa dalam mini, tetapi mereka adalah organisme yang sedang berkembang. Agar mereka dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, dibutuhkan orang dewasa yang dapat mengarakan dan membimbing mereka agar tumbu dan berkembang secara optimal. Oleh karena itulah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi yang memungkinkan setiap siswa dapat dengan muda mendapatkan berbagai informasi, tugas, dan tanggung jawab guru bukan semakin sempit namun justru semakin komplek. Guru bukan saja dituntut untuk lebih aktif mencari informasi yang dibutuhkan, akan tetapi harus mempu menyeleksi berbagai informasi, sehingga dapat menunjukkan pada siswa informasi yang dianggap perlu dan penting dalam bagi keidupan mereka. Guru tidak lagi memposisikan diri sebagai sumber belajar yang bertugas menyampaikan informasi, tetapi harus berperan sebagai pengelola sumber belajar untuk dimanfaatkan siswa itu sendiri.
b. Ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang tidak
mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Begitu hebatnya perkembangan limu biologi, ilmu ekonomo, hokum, dan lain sebagainya dalam bidang teknologi, semua dibalik kehebatan itu, bersumber dari apa yang kita sebut sebagai pengetahuan. Bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal informasi, mengahafal rumus-rumus, tetapi bagaimana menggunakan informasi dan pengetahuan itu untuk mengasah kemampuan berpikir.
c. Penemuan   baru   khususnya   dalam   bidang   psikologi, mengakibatkan 
     pemahaman baru terhadap konsep perubahan tingkah laku manusia. Bahwa manusia adalah organisme yang memiliki potensi seperti yang dikembangkan oleh aliran kognitif holistik. Potensi itulah yang akan menentukan prilaku manusia. Oleh karena itu, proses pendidikan bukan lagi memberikan stimulus, tetapi usaha mengembangkan potensi yang dimiliki.
 Ketiga hal diatas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar jangan diartikan sebagai proses menyampaikan materi pembelajaran atau memberikan stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi lebih dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya.
Pengaturan lingkungan adalah proses menciptakan iklim yang baik seperti penataan lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran, dan hal-hal lain yang memungkinkan siswa betah dan merasa senang belajar sehingga mereka dapat berkembang secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan potensi yang dimilikinya. Istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran. Yang dapat diartikan sebagai proses pengaturan lingkungan yang diarahkan untuk mengubah perilaku siswa kearah yang positif dan lebih baik sesuai dengan potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa. Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction” yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif holistic yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan untuk mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Hal ini seperti diungkapkan oleh Gagne (1992:3) yang menyatakan bahwa, “instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated.” Oleh karena itu menurut Gagne, mengajar atau teaching merupakan bagian dari pembelajaran (instruction), dimana peran guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu. Dalam istilah “pembelajaran” yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil teknologi yang dapat dimnfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa diposisikan sebagai subjek belajar yang memegang peranan yang utama, sehingga dalam setting proses belajar mengajar siswa dituntut beraktivitas secara penuh, bahkan secara individual mempelajari bahan pembelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar (pengajaran)” atau “teaching” menempatkan guru sebagai “pemeran utama” memberikan informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, memanage berbagai sumber dan fasilitas untuk dipelajari siswa.

2.3 Makna Mengajar dalam Standar Proses Pendidikan
     Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Makna lain dari mengajar sering diistilahkan dengan pembelajaran. Hal yang mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus dijadikan sebagai pusat dari kegiatan. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kopetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu mampu menjadi pembelajaran sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar.
     Dalam implemantasinya, walaupun istilah yang digunakan “pembelajaran”, tidak berarti guru harus menghilangkan perannya sebagai pengajar, sebab secara konseptual pada dasarnya dalam istilah mengajar itu juga bermakna membelajarkan siswa. Belajar mengajar adalah dua istilah yang memiliki satu makna yang tidak dapat dpisahkan. Mengajar adalah suatu aktivitas yang dapat membuat siswa belajar. Keterkaitan antara mengajar  dan belajar diistilahkan Dewey sebagai “menjual dan membeli”, teaching is to learning ass selling to buying. Artinya, seseorang tidak mungkin akan menjual, manakala tidak ada orang yang membeli, yang berarti tak akan ada perbuatan mengajar manakala tidak membuat seseorang belajar. Dengan demikian, dalam istilah mengajar juga terkandung proses belajar siswa. Dalam istilah pembelajaran, guru tetap harus berperan secara optimal, demikian juga halnya dengan siswa. Perbedaan dominasi dan aktivitas diatas, hanya menunjukan kepada perbedaan tugas-tugas atau perlakuan guru dan siswa terhadap materi dan proses pembelajaran. Dari uraian itu, maka terlihat jelas bahwa istilah “pembelajaran” (instruction) itu menunjukan pada usaha siswa mempelajari bahan pelajaran sebagai akibat perlakuan guru. Di sini jelas, proses pembelajaran yang dilakukan siswa tidak mungkin terjadi tanpa perlakuan guru, yang membedakan hanya pada peranananya saja.
     Bruce Weil (1980) mengemukakan tiga prinsip penting dalam proses pembelajaran, yaitu :
a. Proses pembelajaran adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat   membentuk atau mengubah struktur atau kognitif siswa.
b. Berhubungan dengan tipe-tipe pengetahuan yang harus dipelajari. Ada tiga tipe pengetahuan yaitu:
1. Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat dari suatu objek atau kejadian seperti bentuk, besar, berat, serta bagaimana objek itu berinteraksi satu dengan yang lainnya.
 2. Pengetahuan sosial berhubungan dengan perilaku individu dalam suatu sistem sosial atau hubungan antara manusia yang dapat mempengaruhi interaksi sosial. Contoh pengetahuan tentang aturan hukum, moral, nilai, bahasa, dan lain sebagainya.
3. Pengetahuan logika berhubungan dengan berpikir matematis, yaitu pengetahuan yang dibentuk berdasarkan pengalaman dengan suatu objek dan kejadian tertentu.
c. Dalam proses pembelajaran harus melibatkan peran lingkungan sosial. Anak- akan lebih baik mempelajari pengetahuan logika dan sosial dari temannya sendiri. Melalui pergaulan dan hubungan sosial, anak akan belajar lebih efektif dibandingkan dengan belajar yang menjauhkan dari hubungan sosial. Oleh karena itu, melalui hubungan sosial itulah anak akan berinteraksi dan berkomunikasi, berbagi pengalaman dan lain sebagainya, yang memungkinkan mereka berkembang secara wajar.
          Atas dasar uraian diatas, maka proses pembelajaran harus diarahkan agar siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah, meliputi kopetensi yang dimiliki, yang meliputi kopetensi akademik, kopetensi okupasional, kopetensi kultural, dan kopetensi temporal.         Dari penjelasan diatas, maka makna pembelajaran dalam konteks standar proses pendidikan ditunjukan oleh beberapa ciri yang dijelaskan berikut ini.
1. Pembelajaran adalah proses berpikir
Belajar adalah proses berpikir. Belajar berpikir menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui interaksi antara individu dengan lingkungan. Menurut Bettencourt (1985) mengajar dalam berpikir adalah berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Dalam proses pembelajaran La Costa (1985) mengklafikasikan mengajar berpikir menjadi tiga, yaitu 1) Teaching of thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental tertentu, seperti misalnya keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan lain sebagainya. 2)  Teaching for thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan pada usaha untuk menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong terhadap perkembangan kognitif. 3) Teaching about thinking adalah pembelajaran yang diarahkan pada upaya untuk membantu agar siswa lebih sadar terhadap proses berpikirnya.
2.  Proses pembelajaran adalah memanfaatkan potensi otak
Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. Menurut beberapa ahli, otak manusia terdiri dari dua bagian, yaitu otak kanan dan otak kiri. Masing-masing belahan otak memiliki spesialisasi  dalam kemampuan-kemampuan tertentu. Proses berpikir otak kiri, bersifat logis, skuensial, linier, dan rasional. Sisi ini sangat teratur. walaupun berdasarkan realitas, ia mampu melakuka penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi audotorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik serta simbolis (De Porter, 1992).
3.   Pembelajaran berlangsung sepanjang hayat
Belajar adalah proses yang terus-menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas, pada dinding kelas. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa sepanjang kehidupannya manusia akan selalu dihadapkan pada masalah atau tujuan yang ingin dicapainya. Dalam proses mencapai tujuannya, manusia akan dihadapkan beberapa rintangan. Dikatakan manusia yang berhasil sukses manakala ia dapat menebus rintangan itru, dan dikatakan manusia gagal manakala ia tidak dapat melewati rintangan yang dihadapinya.  Atas dasar itulah sekolah berperan sebagai wahana untuk memberikan latihan bagaimana cara belajar. Melalui kemampuan bagaimana cara belajar, siswa akan dapat belajar memecahkan setiap rintangan yang dihadapi sampai akhir hayatnya.
Prinsip belajar sepanjang hayat seperti yang telah dikemukakan diatas sejalan dengan empat pilar pendidikan universal seperti yang dirumuskan oleh UNESCO (1996), yaitu:
 a. Learning to know atau learning to learn mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar.
b. Learning to do mengandung pengertian bahwa belajr itu bukan hanya sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan, tetapi belajar untuk berbuat ddengan tujuan akhir penguasaan kompetensi yang sangat diperlukan dalam era persaingan global.
c.  Learning to be mengandung pengertian belajar adalah mebentuk manusia yang “menjadi diri sendiri“. Dengan kata lain, belajar untuk mengaktualisasi dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia.
d. Learning to live together adalah belajar untuk bekerja sama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat global dimana manusia baik secara individual maupun secara kelompok tak mungkin bisa hidup sendiri atau mengasingkan diri bersama kelompoknya.

2.4 Teori-teori Belajar
   Belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Hilgard mengungkapkan: “Learning is the process by wich an activity originates or changed through training procedurs (wether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from changes by factors not atributable to training.” Bagi Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku.
     Proses belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan mental yang tidak dapat dilihat. Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang belajar tidak dapat kita saksikan.
     Menurut John Locke, manusia merupakan organisme yang pasif. Ia menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulis apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan itu, memunculkan aliaran belajar behavioristik-elementeristik. Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif. Manusia merupakan sumber dari pada semua kegiatan. Pada hakikatnya manusia bebas untuk berbuat; manusia bebas untuk memembuat suatu pilihan dalam setiap situasi. Titik pusatnya adalah kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan ini melahirkan aliaran beljar kognitif-holistik. Aliran behavioristik-elementeristik dan aliran kognitif-holistik, memiliki perbedaan. Perbedaan kedua aliran ini dapat dilihat pada table dibawah ini.



Perbedaan Aliran Behavioristik dan Kognitif

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
TEORI BELAJAR KOGNITIF
Mementingkan pengaruh lingkungan
Mementingkan apa yang ada dalam diri
Mementingkan bagian-bagian
Mementingkan keseluruhan
Mengutamakan peranan reaksi
Mengutamakan fungsi kognitif
Hasil belajar terbentuk secara mekanis
Terjadi keseimbangan dalam diri
Dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu
Tergantung pada kondisi saat ini
Mementingkan pembentukan kebiasaan
Mementingkan terbentuknya struktur kognitif
Memecahkan masalah dilakukan dengan cara trial and error
Memecahkan masalah didasarkan kepada insight

                   Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan respon (S-R). Oleh karena itu, teori ini juga disebut dengan teori Stimulus-Respon.
       Teori-teori belajar yang termasuk kedalam kelompok behavioristik diantaranya:
a. Koneksionisme, dengan tokohnya Thorndike
b. Classicak conditioning, dengan tokohnya Pavlop
c. Operant conditioning, yang dikembangkan oleh skinner
d. Systematic behavior, yang dikembangkan oleh Hull
e. Contiguous conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrin
    Sedangkan teori-teori yang termasuk kedalam kelompok kognitif holistic diantaranya :
a. Teori Gestalt, dengan tokohnya Kofka, Kohler, dan Wertheimer
b. Teori Medan (Field Theory), dengan tokohnya Lewin
c. Teori Organismik, yang dikembangkan oleh Wheeler
d. Teori Humanistik, dengan tokohnya Maslow dan Rogers
e. Teori Konstruktivistik, dengan tokohnya Jean Piaget
 1. Teori Belajar Behavioristik
a. Teori Belajar Koneksionisme
Dikembangkan oleh Thorndike (1913), menurut teori ini belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama.Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus-respon (S-R). Oleh karena itu lah teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respon. Throndike mengemukakan hukum-hukum belajar dalam teori koneksionisme sebagai berikut:
                1.  Hukum Kesiapan (law of readiness)
Menurut hukum ini, hubungan antara stimulus dan respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu.
     2.  Hukum latihan (law of exercise)
Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons. Hubungan atau koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan (law of use); dan koneksi-koneksi itu akan menjadi lemah karena latihan tidak dilanjutkan atau dihentikan (law of disuse). Implikasi dari hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasailah pelajaran itu. 
                3. Hukum akibat (law of effect)
Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Disamping itu, konsep penting dari teori belajar koneksionisme, Throndike adalah yang dinamakan transfer of training.
b. Teori Belajar Classical Conditioning
Seperti halnya dengan Thorndike, Pavlop dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu.
c. Operant Conditioning
               Dikembangkan oleh Skinner, merupakan pengembangan dari teori Stimulus Respon. Berbeda dengan tokoh lainnya, Skinner membedakan dua macam respon, yakni respondent response (reflexive response) dan operant response (instrumental response). Respondent response adalah respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu. Respon ini relatif tetap, artinya setiap ada stimulus semacam itu akan muncul respon tertentu. Dengan demikian perangsang-perangsang yang demikian itu mendahului respon yang ditimbulkan. Operant response (instrumental response) adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian disebut reinforcer, karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat respon yang telah dilakukan organisme. Jadi dengan demikian, perangsang tersebut mengikuti dan memperkuat suatu tingkah laku yang telah dilakukan.
    Pada perilaku manusia respondent response bersifat sangat terbatas, oleh karena itu sangat kecil untuk dimodifikasi. Sebaliknya operant response (instrumental response) sifatnya tidak terbatas, oleh karena itu kemungkinan untuk dapat dimodifikasi sangat besar. Dengan demikian, untuk mengubah tingkah laku kita dapat menggunakan instrumental response.
    Skinner berpendapat bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu perlu diurutkan atau dipecah-pecahkan menjadi bagian-bagian atau komponen tingkah laku yang spesifik. Selanjutnya, agar terbentuk pada tingkah laku yang diharapkan pada setiap tingkah laku yang spesifik yang telah direspon, perlu diberikan hadiah (reinforcer) agar tingkah laku itu terus menerus diulang, serta untuk memotivasi agar berlanjut kepada komponen tingkah laku selanjutnya sampai akhirnya pada pembentukan tingkah laku puncak yang diharapkan.
     Setiap komponen atau tingkah laku yang spesifik yang telah direspon anak perlu diberikan hadiah atau penguatan yang dapat menimbulkan rasa senang. Dengan demikian, anak akan terus mengulang perilaku tersebut dan melanjutkan pada komponen perilaku berikutnya.

   2. Teori Belajar Kognitif
     a.Teori Gestalt
Dikembangkan oleh Kofka, Kohler, Wertheimer. Menurut teori ini, belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yang menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis, sehingga mengabaikan atau mengingkari peranan insight. Namun teori Gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku. Belajar terjadi karena kemampuan menangkap makna dan keterhubungan antara komponen yang ada dilingkungannya. Insight yang merupakan inti dari belajar menurut teori gestalt, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kemampuan insight seseorang tergantung kepada kemampuan dasar orang tersebut, sedangkan kemampuan dasar itu tergantung kepada usia dan posisi yang bersangkutan dalam kelompoknya.
2. Insight dipengarauhi atau tergantung kepada pengalaman masa lalunya yang relevan.
3. Insight tergantung kepada pengaturan dan penyediaan lingkungannya.
4. Pengertian merupakan inti dari insight. Melalui pengertian individu akan dapat memecahlan persoalan. Pengertian itulah yang bisa menjadi kendaraan dalam memecahkan persoalan lain pada situasi yang berlainan.
5. Apabila insight telah diperoleh, maka dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dalam situasi lain. Disini terdapat semacam transfer belajar , namun yang ditransfer bukanlah materi yang dipelajari, tetapi relasi-relasi dan generalisasi yang diperoleh melalui insight.
Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini ( Nasution,1982):
1.  Belajar itu berdasarkan keseluruhan
Berbeda dengan teori belajar behavioristik yang menganggap bagian-bagaian lebih penting dari keseluruhan, namun teori ini justru menganggap bahwa keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagaian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Sebuah kata akan bermakna manakala ada dalam sebuah kalimat. Demikian juga kelaimat akan memiliki makna apabila ada dalam suatu rangkaian karangan. Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu maslah. Melalui maslah ini siswa dapat mempelajarai fakta.
2.  Anak yang belajar merupakan keseluruhan
 Prinsip ini mengandung pengertian bahwa mempelajarai anak itu bukan hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Apa artinya kemampuan intelektual manakala tidak diikuti sikap yang baik atau tidak diikuti oleh pengembangan seluruh potensi yang ada dalam diri anak. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada di dalam diri anak.
3.  Belajar berkat insight
                Telah diketahui bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permaslahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan pada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi itu, anak akan mendapat insight yang sangat berguna untuk menghadapi setiap masalah.
4.  Belajar berdasarkan pengalaman
Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu. Belajar adalah melakukan reorganisasi pengalaman-pengalaman masa lalu yang secara terus menerus disempurnakan. Inilah hakikat pengalaman. Dengan demikian, proses pembelajaran adalah proses memberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan anak.
     b. Teori Medan
Dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori Gestalt, teori ini menganggap bahwa belajar adalah proses pemecahan masalah. Beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan maslah menurut Lewin dalam belajar adalah sebagai berikut.
a. Belajar adalah Perubahan Struktur Kognitif
Setiap orang akan dapat memecahkan masalah jika ia bisa mengubah struktur kognitif.
b. Pentingnya Motivasi
Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk berperilaku. Motivasi muncul karena adanya daya tarik tertentu. Terkadang untuk mendapatkan daya tarik tersebut itu, seseorang dapat melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Itulah sebabnya selain diperlukan faktor pendorong melalui hadiah, juga diperlukan hukuman terutama apabila terjadi gejala-gejala perilaku yang tidak sesuai. Disamping itu, motivasi juga bisa muncul karena pengalaman yang menyenangkan.

    3. Teori Belajar Konstruktivitik
     Dikembangkan oleh Piaget. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakana. Pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan.
    Mengkonstruksi pengetahuan menurut Piaget dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada. Skema adalah struktur kognitif yang terbentuk melalui proses pengalaman. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema yang telah terbentuk, dan akomodasi adalah proses perubahan skema.  







DAFTAR PUSTAKA

Dimyati,  Mudjiono. 2006.   Belajar  dan  Pembelajaran.  Jakarta:  Rineka  Cipta

Sanjaya,  Wina.   2009.    Strategi    Pembelajaran   Berorientasi   Standar   Proses
               Pendidikan. Jakarta: Kencana

Sardiman. 2011.  Interaksi  dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Gravindo

               Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar